Selasa, 26 Mei 2009

Philosophy hidup ku

Philosophy hidup
Dalam hidupku, aku berpegang dalam filosofi berani mengambil keputusan dalam keadaan terdesak (survival), kemampuan beradaptasi di berbagai lingkungan, kemampuan melakukan berbagai pekerjaan (multi tasking) dan hidup di lingkungan 3T yaitu Tunduk, Taat dan Setia (Religius dalam kehidupan).

Meningkatkan Eksistensi Diri di Tempat Kerja

Meningkatkan Eksistensi Diri di Tempat Kerja

Foto: Corbis
DALAM dunia kerja, semua orang tentu butuh pengakuan dari atasan maupun rekan kerja soal kemampuan dan eksistensi dirinya di perusahaan tersebut. Pangakuan ini tentunya berhubungan dengan masa depannya di perusahaan tersebut. Misalnya mendapatkan promosi kerja atau malah dipecat karena dianggap bekerja di bawah performa.

Karena itulah, banyak pekerja berusaha untuk mendapatkan pengakuan tersebut. Banyak cara ditempuh, mulai cara yang beretika maupun yang tidak. Tentu saja, karyawan yang baik akan menempuh cara-cara yang elegan dan bijak untuk mendapatkannya.

Berikut saran yang diberikan Doug White, konsultan karier dari Robert Half International, seperti dikutip dari Yahoo! Hotjob.

Nyatakan ide

Apakah Anda punya ide cemerlang yang bisa memberi manfaat banyak untuk perusahaan? Jangan di simpan sendiri. Lebih baik katakan kepada atasan pada forum rapat, atau saat diskusi informal.

Konsisten menyampaikan prestasi

Jika Anda sudah melakukan banyak hal untuk perusahaan, tetapi tak pernah menyampaikannya kepada atasan atau manajemen, maka mulai sekarang sampaikanlah. Saat masa krisis dan sulit seperti ini, perusahaan akan mencermati siapa saja karyawannya yang memberi kontribusi besar pada perusahaan dan mana yang tidak. Karena itu sudah saatnya Anda menyampaikan secara rutin prestasi yang sudah Anda lakukan pada atasan atau manajemen agar mereka tahu kinerja Anda.

Tingkatkan kemampuan

Untuk meningkatkan kemampuan, Anda bisa mengikuti berbagai seminar atau workshop, baik yang diadakan oleh perusahaan maupun atas inisiatif Anda sendiri. Jangan malas untuk mengikuti kegiatan seperti ini, terutama jika yang mengadakan adalah perusahaan Anda karena acara seperti ini bisa jadi bahan pertimbangan manajemen perusahaan untuk melihat semangat, antusiasme, dan kemampuan Anda dalam keahlian yang diajarkan.

Membangun networking di tempat kerja

Banyak orang menganggap networking hanya diperlukan di luar kantor. Padahal membangun hubungan baik dengan rekan sekantor, bahkan yang berbeda divisi, sama pentingnya bagi kelangsungan karier seseorang di sebuah perusahaan.

Maka jalinlah network dengan rekan dari divisi yang berbeda, mendatangi berbagai kegiatan atau acara kantor, dan siap membantu rekan kerja yang lain. Ingatlah bahwa setiap orang senang bekerja dengan orang yang mereka sukai secara personal. Jadi mulailah membangun network di mana pun.

Siap dengan tantangan apa pun

Jika manajer Anda membutuhkan seseorang untuk memimpin sebuah proyek, jangan ragu-ragu untuk menawarkan diri, walaupun pekerjaan tersebut jauh dari keahlian Anda. Memang, Anda harus rela keluar dari zona aman, tapi justru dengan begitu, prestasi Anda akan semakin cemerlang. (Koran SI/Koran SI/nsa)

CSR, Resiko Bisnis, dan Pencarian Arah Baru

CSR, Resiko Bisnis, dan Pencarian Arah Baru

Link



BELAKANGAN ini kian banyak korporasi yang mengklaim telah melakukan aksi konkrit dalam mewujudkan corporate social responsibility (CSR). Pun, telah berkembang pemeringkatan terhadap hal ini. Simon Zadek, CEO dari AccountAbility misalnya mengatakan bahwa peringkat yang dibuat adalah untuk menunjukkan bahwa perusahaan yang melaksanakan manajemen yang akuntabel dan memperhatikan isu-isu non-finansial dewasa ini akan dapat membangun nilai bisnis di masa depan. Korporasi-korporasi besar pun berlomba-lomba untuk menempati posisi atas dalam peringkat-peringkat tersebut. Lalu, saat ini kian sulit untuk menemukan sebuah laporan tahunan dari raksasa-raksasa bisnis internasional yang hanya menonjolkan persoalan laba, ketimbang ”melayani masyarakat”, demikian ditulis dalam satu laporan The Economist.
Perkembangan itu juga berhimpitan dengan kian maraknya jasa-jasa konsultasi yang memberi nasehat kepada korporasi bagaimana mewujudkan CSR, dan yang—mungkin—terpenting adalah juga bagaimana supaya pihak lain tahu bahwa korporasi yang bersangkutan telah melaksanakan hal itu. Dari perspektif ekonomi pasar, ini sah-sah saja. The Economist pun menulis bahwa CSR sekarang ini telah menjadi sebuah industri. Beragam bentuk aktualisasi CSR bermunculan, termasuk yang seturut kehendak korporasi sendiri, terlebih manakala tidak ada regulasi tertentu yang mengaturnya.

Hal itu kemudian menimbulkan skeptisisme terhadap CSR, yakni bahwa itu dilakukan hanyalah sekedar untuk memberi kesan bahwa sebagai korporasi mereka telah bertanggungjawab secara sosial. Inilah upaya korporasi dalam sistem kapitalis untuk menunjukkan bahwa mereka bukanlah entitas yang sedemikian kejam, seperti sering digambarkan oleh para kritikus. Pertanyaannya kemudian adalah: apakah CSR benar-benar telah mengubah wajah korporasi yang merupakan pilar penting dalam sistem kapitalis? Inilah pertanyaan yang bisa membuahkan jawaban yang tidak mengenakkan. CSR lalu tidak ubahnya sekedar operasi plastik ketimbang operasi besar untuk memperbaiki apa yang memang tidak hendak diperbaiki. Sementara lembaga-lembaga pemeringkat CSR terbukti aktivitasnya memang lebih berurusan menyediakan informasi semata, dengan menerapkan konsep-konsep yang sangat berorientasi ekonomi.

Manfaat CSR: Perspektif Pasar
Bila demikian halnya maka penerapan CSR oleh korporasi, terutama yang berskala raksasa bukanlah sepenuhnya dilandasi kehendak untuk ”melayani masyarakat” melainkan suatu cara menyikapi perkembangan yang terjadi agar korporasi tetap bisa berumur panjang dengan tujuan utamanya memupuk laba. Perkembangan-perkembangan yang menjadi pertimbangan di sini misalnya adalah telah melorotnya kepercayaan masyarakat terhadap korporasi raksasa, kian mengglobalnya aktivitas bisnis, adanya gerakan menuntut corporate governance, makin kerasnya persaingan bisnis dan dalam kaitannya dengan pembiayaan adalah munculnya apa yang dikenal sebagai socially responsible funds.

Perkembangan-perkembangan seperti itu pada gilirannya bisa saja berdampak buruk pada performansi finansial korporasi jika tidak diakomodasi. Oleh sebab itu, ada benarnya bila dikatakan bahwa korporasi yang menerapkan CSR dalam aktivitas bisnisnya adalah korporasi yang ”bijak”. Tentu bijak dalam kacamata korporasi belum tentu sama dengan yang dipahami oleh masyarakat, ataupun mereka yang kritis terhadap gerak bisnis korporasi raksasa. Terlebih bila korporasi tersebut meyakini bahwa yang dilakukannya sebelumnya bukanlah praktik-praktik negatif, tetapi malah telah menguntungkan masyarakat.


Karenanya, menurut Jagdish Bhagwati—salah satu proponen globalisasi—adalah tidak masuk akal jika CSR didesakkan atas dasar asumsi bahwa kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh korporasi harus dikompensasi. Apa yang harus dikompensasi kalau tidak ada kerugian yang ditimbulkannya? Kurang lebih demikian alur pikirnya. Dalam perspektif demikian maka penerapan CSR justru adalah untuk memperbesar manfaat positif yang selama ini telah diberikan oleh korporasi kepada masyarakat, terutama di negara berkembang.

Maka tidak mengherankan jika implementasi CSR pun akhirnya lebih banyak bernuansa karitatif yang nilai kontribusinya ternyata juga tidak terlalu signifikan. Tahun 2005, Giving List yang dipublikasi oleh koran Guardian di Inggris misalnya melaporkan bahwa kontribusi karitatif dari 100 perusahaan FTSE rata-rata hanyalah 0,97 persen dari laba sebelum pajak (pre-tax profit). Pakar etika bisnis seperti David Vogel dari University of California lalu menyangsikan potensi CSR untuk menghasilkan perubahan signifikan dalam perilaku bisnis. Atau, Joel Bakan—seorang profesor hukum—sebagaimana dikutip The Economist meyakini bahwa CSR biasanya scam . Menurutnya, kalaupun terjadi corporate responsibility namun corporate irresponsibility toh terjadi juga. Lantas, terlalu berlebihan untuk berharap berubahnya perilaku bisnis hanya dengan CSR, karena motivasi terpenting bisnis adalah laba, bukan idealisme. Kalau memang pasar menuntut adanya CSR, maka barulah korporasi menerapkan CSR. Sehingga, ketika diamati, selain lebih bersifat karitatif dan voluntaristik, penerapan CSR pun sebetulnya masih cenderung bersifat market-driven.

Mempertimbangkan semua itu, apa yang disebut-sebut sebagai manfaat dari CSR pun sebetulnya berakar dari perspektif pasar. Sudut pandang korporasi lantas lebih menonjol dalam melihat manfaat-manfaat finansial-ekonomis dari penerapan CSR bagi korporasi sendiri, ketimbang manfaat bagi masyarakat. Lalu, keberlanjutan pun lebih mengandung makna keberlanjutan bisnis itu sendiri, bukan soal keberlanjutan hidup miliaran manusia kini dan masa mendatang.

Sebuah tulisan singkat yang digarap Csrnetwork dan Radley Yeldar secara jelas memberikan indikasi bahwa manfaat CSR memang berkutat lebih pada sudut pandang kepentingan korporasi sendiri yaitu untuk terus hidup, dengan laba sebagai motivasi terdepan. Dalam tulisan itu menyebutkan 10 manfaat utama dari pelaksanaan CSR. Manfaat pertama adalah dapat meningkatkan laba. Dalam hal ini diungkap temuan studi baik oleh DePaul University dan Harvard University bahwa ada korelasi positif antara praktik-praktik bisnis yang secara sosial bertanggungjawab dengan performasi finansial. Kedua, perusahaan-perusahaan yang punya komitmen terhadap CSR sering memiliki akses kapital yang lebih baik ketimbang yang tidak punya komitmen, sehubungan dengan peningkatan dalam Socially Responsible Investment (SRI). Manfaat ketiga adalah berkurangnya biaya-biaya operasi atau meningkatnya efisiensi operasional. Keempat, manfaatnya adalah memperkuat brand image dan reputasi perusahaan. Manfaat kelima, penjualan meningkat dan konsumen kian loyal. Keenam, produktivitas dan kualitas meningkat. Ketujuh, meningkatkan kemampuan untuk menarik dan mempertahankan pekerjanya. Kedelapan, mengurangi kealpaan dalam memenuhi ketentuan regulasi. Kesembilan, mengurangi resiko, dan meningkatkan manajemen resiko. Terakhir adalah mampu menghadapi pesaing dan pasar dimana pun berada. Mengacu pada laporan dari Business for Social Responsibility, efek dari penerapan CSR dapat diukur oleh korporasi kurang lebih dengan melihat hal-hal serupa di atas.

Oleh karena kepentingan korporasi untuk memaksimalkan laba lebih menonjol, maka pernyataan kontroversial ekonom kondang Milton Friedman soal CSR yang dilansirnya tahun 1970, yaitu bahwa responsibilitas sosial bisnis hanyalah meningkatkan labanya, cenderung dibantah oleh para pelaku bisnis. Dalam sanggahannya, John Mackey—pendiri dan CEO dari Whole Foods—misalnya menyatakan bahwa pernyataan seperti yang dibuat Friedman inilah yang menyebabkan kapitalisme dan korporasi disalahpahami, tidak dipercaya dan tidak disukai di segala penjuru dunia. Padahal, dalam perdebatan itu, Friedman sendiri mengatakan bahwa kalimatnya itu sebetulnya ekuivalen dengan pernyataan Mackey bahwa korporasi yang telah mengalami pencerahan harus mencoba untuk menciptakan value bagi seluruh konstituennya.

Sejalan dengan orientasi merawat peluang memupuk laba, studi-studi yang mendukung CSR pun cenderung mengedepankan pembuktian-pembuktian yang erat kaitannya dengan persoalan laba dan peluang pemupukannya. Dalam tulisan Bruce W. Fraser misalnya diangkat beberapa temuan studi berkaitan dengan hal itu. Oekom Research—suatu lembaga Jerman yang bergerak dalam penilaian performansi lingkungan dan sosial, serta perusahaan sekuritas Morgan Stanley menemukan bahwa perusahaan-perusahaan dengan peringkat keberlanjutannya (sustainability rating) yang tinggi memiliki performansi yang lebih baik daripada yang tindakan-tindakan keberlanjutannya bernilai rendah. Adapun dari studi Lynn Sharpe Pains—seorang professor Harvard Business School—didapatkan temuan adanya korelasi positif antara performansi finansial dengan performansi sosial. Studi lain mengenai reputasi korporasi juga menyimpulkan bahwa konsumen memang menaruh perhatian pada reputasi korporasi yang menyangkut urusan: responsibilitas terhadap publik, kepemimpinan dan kesuksesan, serta adil atau jujur kepada konsumennya. Hanya saja, korelasi elemen responsibilitas ini dengan brand equity rupanya paling lemah dibandingkan dua elemen lainnya. Yang paling menarik—karena agak berbeda temaunnya—barangkali hasil pemeringkatan corporate citizens yang dilakukan majalah Business Ethics–majalah yang telah belasan tahun mengkhususkan diri pada soal corporate responsibility–dalam kerangka menunjukkan indikator pelaksanaan CSR. Di sini, sepuluh teratas dalam peringkat corporate citizens ternyata tidak ada satu pun yang masuk sepuluh besar dalam hal perolehan finansial. Nilai terbaik mereka rupanya dari hubungannya dengan soal lingkungan, komunitas, dan relasinya dengan pekerja.

Resiko Bisnis
Bila dikaitkan dengan resiko bisnis, apakah penerapan CRS ada manfaatnya? Dari sudut pandang korporasi jelas bahwa penerapan CSR berpeluang untuk memimalisir resiko yang dapat merusak peluang untuk memupuk laba. Terlebih lagi jika CSR yang dilakukannya itu dipublikasikan kepada publik. Sebuah laporan CSR dapat menjadi alat manajemen resiko bagi korporasi.

Resiko adalah hal yang lumrah sebetulnya. Setiap entitas yang hidup pasti menghadapi resiko. Setiap orang terbiasa dengan kepanikan, kegembiraan, dan kegelisahan yang berkaitan dengan resiko, demikian disebutkan oleh Sison. Ini tidak bisa diabaikan, tetapi justru harus dikelola. Begitu pula halnya, semua aktivitas bisnis yang dilakukan oleh korporasi tidak luput dari resiko. Tambahnya, resiko justru adalah fundamental bagi dunia bisnis. Mengabaikan kenyataan adanya resiko malah akan membuka pintu bagi terjadinya malapetaka bagi korporasi yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan resiko biasanya disamakan dengan ketidakpastian (uncertainty). Makin tinggi ketidakpastian maka jalannya bisnis menghadapi resiko yang makin besar. Yang diyakini adalah bahwa pada akhirnya, segala resiko yang mengalir melalui organisasi akan sampai pada individu-individu yang ada atau terkait dengan organisasi yang bersangkutan, entah pemegang saham, kreditur, pekerja, konsumen, pimpinan, dan seterusnya. Melihat panjangnya rentetan yang ditimbulkan oleh resiko maka memang tidak masuk akal jika suatu organisasi, termasuk entitas bisnis, tidak ambil pusing dengan resiko. Tujuan-tujuan yang hendak dicapai bakal terkendala jika resiko tidak dikelola.

Resiko sebuah entitas bisnis sendiri dapat dipilah menjadi dua kelompok: resiko finansial dan resiko non-finansial. Resiko finansial mencakup resiko pasar, resiko kredit, resiko operasional dan resiko reputasi. Kerugian finansial dapat muncul karena resiko-resiko tersebut. Reputasi korporasi yang memburuk misalnya dapat membawa akibat pada memburuknya kondisi finansial korporasi. Sedangkan resiko non-finansial dilihat dari dua perspektif: mikro dan makro. Pada perspektif mikro, resiko disebabkan oleh ketidakpastian berkaitan dengan elemen internal institusi seperti manusianya, proses, peristiwa, serta teknologi dan sistem. Adapun pada sisi makro, resiko yang muncul adalah resiko yang dikarenakan oleh faktor-faktor eksternal seperti pemerintah, situasi industri dan bisnis domestik, masyarakat, dan situasi bisnis internasional.

Konsekuensi yang ditimbulkan oleh resiko menunjukkan derajat resiko itu sendiri. Dalam hal ini, makin besar konsekuensinya menjadi indikasi makin beratnya resiko. Dilihat dari tingkatan dampaknya maka konsekuensi resiko dapat dipilah menjadi lima: bencana, besar, moderat, kecil, dan tidak signifikan. Namun apakah konsekuensi-konsekuensi ini akan terjadi atau tidak terjadi, akan tergantung dari probabilitas terjadinya resiko itu sendiri. Peluang atau kemungkinan akan terjadinya resiko bergerak mulai dari yang pasti akan terjadi sampai yang jarang terjadi.

Perubahan jaman tentu saja dapat membuat peluang terjadinya resiko juga berubah. Ambil contoh, di masa rezim otoriter sangatlah jarang penduduk lokal sampai berani melakukan tekanan secara fisik terhadap perusahaan-perusahaan tambang yang berada di lokasi mereka. Pada kondisi seperti ini, korporasi tambang bisa tidak peduli dengan kemalangan yang dialami oleh penduduk lokal akibat prases penambangan. Ketidapedulian ini karena korporasi dengan mudah dapat berlindung dibawah tindakan represif rezim otoriter. Namun ketika rezim otoriter tumbang, disertai dengan kian kuatnya sorotan dunia atas perilaku bisnis yang jahat, maka korporasi tambang mestinya mulai mengkalkulasi kemalangan rakyat di sekitar lokasi tambangnya, terlebih jika kemalangan itu justru muncul setelah terjadi penambangan. Apa yang terjadi di Bolivia dimana seluruh perusahaan migas asing dinasionalisasi oleh Presiden Evo Morales adalah satu contoh aktual resiko yang akhirnya mungkin harus ditanggung oleh korporasi-korporasi migas multinasional yang beroperasi di sana. Bila pada awal tahun 2006 soal nasionalisasi itu barulah sebatas kemungkinan, maka dengan adanya dekrit Morales maka hal itu menjadi kebijakan resmi Morales.

Dalam kaitan itu menarik untuk menyimak pendapat Peter Teuten dari BRMS-nya (Business Risk Management Solution) lembaga konsultan Keany. Secara ringkas Teuten menyebutkan ada 10 kekeliruan utama dalam managemen resiko (risk management). Pertama adalah menganggap bahwa ”itu tak akan terjadi padaku”. Kedua, kegagalan untuk memahami konsekuensi dan dampak jangka panjang dari resiko. Ketiga, meyakini bahwa ”manajemen resiko” sekedar sebagai ”buying insurance”. Keempat, menggunakan external providers yang sebetulnya tidak layak guna. Kelima, tidak memahami keseluruhan biaya dari resiko, atau bagaimana menekan biaya-biaya tersebut. Keenam, membiarkan resiko dinilai dan ditangani oleh resources yang malah menciptakan resiko. Ketujuh, tidak mengelola resiko sebagai hal yang terfokus dan terpusat. Kedelapan, gagal untuk merawat inisiatif-inisiatif manajemen resiko yang sinambung dan terukur. Kesembilan, resources untuk menghadapi resiko tidak diprioritaskan secara efektif, begitu juga dengan alokasinya. Kesepuluh, tidak memadai dalam menyiapkan dan mendidik pekerjanya untuk menghadapi kondisi darurat.

Kembali ke kasus di Bolivia, nasionalisasi dipilih Morales untuk mengakhiri penjarahan sumber daya alam di negara itu. Memang ada waktu enam bulan yang diberikan Morales kepada korporasi-korporasi asing dalam industri migas Bolivia untuk menegosiasi ulang kontrak-kontrak mereka dan mendesak korporasi-korporasi itu untuk menghormati harga diri rakyat Bolivia. Jika memang itu alasan riil dari nasionalisasi, maka ini sekaligus menjadi indikasi bahwa korporasi-korporasi asing itu lemah dalam menerapkan CSR. Termasuk dalam nasionalisasi tersebut adalah bisnis-bisnis migas yang dioperasikan oleh British Petroleum (BP) dan Exxon Mobil Corporation. Yang menarik adalah bahwa BP menduduki peringkat teratas dalam Global 100 Corporate Accountability Rating yang dilansir di Fortune. Dalam konteks Indonesia, Freeport misalnya menyebutkan bahwa sampai akhir tahun 2004 total kontribusinya untuk dana pembangunan masyarakat mencapai 152 juta dolar. Dan perusahaan induknya pun tahun 2002 dan 2003 dinobatkan oleh BusinessWeek sebagai perusahaan yang paling dermawan di Amerika Serikat. Namun toh beberapa waktu lalu rakyat Papua bertindak keras terhadap Freeport.

Padahal, dengan menerapkan CSR, secara teoritis, korporasi dimungkinkan untuk meningkatkan atau memperbaiki performansi sosialnya, bukan sekedar berurusan dengan performansi finansial belaka sehingga resiko-resiko bisnisnya pun minimal. Ternyata teori ini tidak selalu terbukti. Boleh jadi karena penerapan CSR oleh korporasi-korporasi multinasional itu di Bolivia dan Papua misalnya berkualitas rendah dibandingkan dengan di negara atau lokasi lain. Boleh jadi pula karena resistensi masyarakat lokalnya berbeda, seperti di Bolivia mungkin karena Morales adalah sosok yang berhaluan kiri.

Namun kemungkinan lain yang harus pula dipertimbangkan berkaitan dengan dua kasus di atas adalah dugaan bahwa CSR memang tidak memadai dalam meminimalkan resiko. Salah satu awal dari kegagalan CSR ini adalah ketika CSR hanya dimaknai sebagai corporate philantropic semata; kenyataan yang masih tampak jelas dari pemeringkatan-pemeringkatan performansi sosial korporasi yang seperti dibuat oleh BusinessWeek di atas. Para pelaku bisnis cenderung menyamakan CSR dengan corporate philantropic. Perusahaan dipahami oleh pelaku bisnis sebagai institusi pemburu laba, bukan seorang dermawan. Maka memenuhi CSR dianggap sebagai beban, biaya.

Mencari arah baru?
Yang menarik, dari paparan Sison, pemahaman bahwa CSR hanyalah sebagai aktivitas kedermawanan dalam konteks etika bisnis sebetulnya telah menjadi masa lalu, dan sejak awal tahun 1990-an telah masuk ke pemahaman generasi kedua, yakni integrated risk management (IRM) yang secara bertahap telah menggantikan CSR sebagai hal terpenting dalam etika bisnis. Dalam perkembangan ini, etika bisnis lalu tidak hanya diposisikan sebagai hal bermanfaat secara sosial (socially ”beneficial”) tetapi juga secara ekonomi menguntungkan (economically ”profitable”). Inilah agaknya yang menjadi penjelas mengapa di negara-negara maju banyak dilakukan pemeringkatan CSR yang dihubungkan dengan performansi finansial. Program-program etis korporasi lalu bukan hanya sebagai tipu daya publisitas tetapi juga sebagai daya saing yang nyata karena resiko-resiko yang berat lalu dapat dihindari.

Pantaslah jika korporasi-korporasi yang tak mau merugi akan berupaya memenuhi tuntutan CSR. Dengan kata lain, CSR sebagai sebuah etika bisnis pun dapat menjadi sekedar perangkat bisnis untuk tetap dapat meraup laba. Oleh karena etika bisnis dicurigai telah diubah menjadi sekedar profit-making tool yang lain, juga karena adanya konflik di antara keyakinan-keyakinan personal, praktik-praktik profesional dan corporate values, Sison menyimpulkan bahwa saatnya kini untuk meninggalkan etika bisnis sebagai IRM menuju ke etika bisnis generasi ketiga. Yang dibutuhkan pada tahapan lanjut ini adalah corporate culture di atas basis antropologis yang kuat, mengutamakan segenap struktur dan dinamika manusia.

Bila benar kesimpulan ini, agaknya CSR memang harus dibawa ke arah yang baru. Bukan lagi sekedar aktivitas philanthropic korporasi, pun sekedar untuk membentengi korporasi dari resiko bisnis. Tentu ini bukan perkara sederhana, apalagi di tempat dimana CSR masih dipahami semata-mata sebagai aksi-aksi kedermawanan korporasi yang sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan hati pemilik dan penggembala korporasi. Urusan ini akan makin rumit ketika dibawa kembali kepada kapitalisme—sebuah arena yang memang sangat dikuasai korporasi-korporasi. Karena yang lalu dibutuhkan pada tahapan selanjutnya dari CSR adalah mendemokratiskan struktur kekuasaan sistem tersebut agar tercipta demokrasi ekonomi, tulis Marjorie Kelly berkaitan dengan CSR yang ternyata telah meleset dari maksud awalnya.


Namun, agenda ini boleh jadi tidak cukup mudah untuk diwujudkan karena demokratisasi ekonomi inilah yang bagi korporasi bisnis mungkin dianggap sebagai resiko terbesar karena jika itu terjadi maka profit-making menjadi tidak lagi bisa dilakukan secara leluasa. Pasalnya, proses dan hasil dari profit-making harus betul-betul dilakukan dan dibagi secara adil dengan para konstituen atau stakeholders-nya. Misalnya, mengenai CSR, Bhagwati sama sekali tidak menyinggung soal struktur kekuasaan; dua fondasi CSR baginya adalah altruisme (apa yang seharusnya dilakukan oleh korporasi) dan regulasi (apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh korporasi).

Hendri Marihot Siregar: 30 Penyakit Baru Muncul Akibat Pemanasan Global

Hendri Marihot Siregar: 30 Penyakit Baru Muncul Akibat Pemanasan Global