Senin, 08 Juni 2009

ISU-ISU STRATEGIS & PERMASALAHAN


Terdapat isu isu strategis yang diperkirakan akan mempengaruhi upaya Indonesia untuk mencapai target pembangunan air minum dalam kerangka MDG pada tahun 2015. Isu isu ini didapatkan melalui serangkaian konsultasi dan diskusi dengan Dep. Kimpraswil, Dep. Kesehatan dan Bappenas. Selain itu isu-isu strategis yang dihasilkan dalam diskusi Waspola di Bogor pada tanggal 27 Agustus 2003, dijadikan acuan.

Isu isu tersebut dijelaskan dibawah ini.

1.

Daya Dukung Lingkungan Semakin Terbebani oleh Pertumbuhan Penduduk dan Urbanisasi

Pada tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 245,7 juta jiwa, yang semuanya berhak mendapatkan akses air minum.
Pada tahun 2015, jumlah penduduk perkotaan menjadi lebih besar dibandingkan dengan perkotaan dengan perbandingan 53% 47%. Pergeseran ini mengindikasikan semakin meningkatnya kebutuhan akan air minum per kapita, karena konsumsi air masyarakat perkotaan lebih besar daripada masyarakat perdesaan.
Pertumbuhan penduduk terutarna diperkotaan lebih tinggi daripada pertumbuhan sarana penyediaan air minum yang ada. Sementara itu penduduk di pulau Jawa akan meningkat dengan cepat, sementara ketersediaan airnya sangat terbatas.
Penggundulan hutan telah tidak terkendali sehingga semakin mengganggu ketersediaan air baku. Sedangkan sumber air baku terutarna air permukaan mengalarni pencemaran yang semakin meningkat akibat domestik, industri dan pertanian. Sehingga ketersediaan air baku semakin tidak bisa dijamin, baik kuantitas dan kualitas.
Air baku di sebagian besar wilayah Indonesia sebenarnya tersedia dengan cukup, tetapi terancam keberadaannya akibat pengelolaan yang buruk, baik oleh pencemaran maupun kerusakan alam yang menyebabkan terhambatnya konservasi air.
Di sebagian wilayah Indonesia seperti Kalimantan dan sebagian Sumatera air baku sulit diperoleh karena kondisi alamnya sehingga masyarakat harus mengandalkan air hujan atau air permukaan yang tidak sehat.
Akibat kerusakan alam, semakin banyak wilayah yang rawan bencana air, kekeringan di musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan.

2.Interpretasi UU no 22 tahun 2004 Tidak Mendorong Pengembangan dan Kerjasama Antar Daerah Dalarn Penyediaan Air Minum

UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air telah mengamanatkan dibentuknya Dewan Air untuk manajemen air secara terpadu dan Badan Pengatur untuk mengurusi air minum. Tetapi hingga saat ini lembaga lembaga tersebut belum terbentuk. Belum adanya lembaga yang mengatur tata guna air secara terpadu menyebabkan persoalan air di Indonesia ditangani secara sektorat sehingga tidak terarah dan tidak terintegrasi.
Dengan otonomi daerah, kewenangan penyediaan air adatah pada pemerintah daerah. Tetapi kebanyakan pemerintah daerah belum memandang air sebagai persoalan prioritas.
Pemekaran wilayah yang berdampak pada pemekaran PDAM, sehingga terbentuk PDAM berukuran kecil dan cenderung tidak efisien, ditambah lagi permasalahan sumber air baku terletak diluar batas administrasi pengelola PDAM, sehingga menjadi kendala untuk peningkatan pelayanan.

3.Kebijakan Yang Memihak Kepada Masyarakat Miskin Masih Belum Berkembang

Pada dasarnya negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih dan produktif (UU No 7 tahun 2004, pasal 10). Namun pada kenyataannya presentase penduduk miskin masih tinggi, sehingga kemampuan untuk mendapat akses kesarana penyediaan air minum yang memenuhi syarat masih terbatas.
Masyarakat berpenghasilan rendah, ternyata membayar lebih besar untuk memperoleh air daripada masyarakat berpenghasilan tinggi, hal ini menunjukkan ketidak adilan dalam mendapatkan akses pada air minum.
Walaupun sudah terdapat program program air minum dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah, namun akses terhadap air minum belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Perlu dukungan kebijakan yang lebih fokus untuk penyediaan sanitasi dan air minum bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

4.PDAM Tidak Dikelola Dengan Prinsip Kepengusahaan

Air minum perpipaan sebagai sistem pelayanan air minum yang paling ideal hingga saat ini baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia. Secara nasional, cakupan air perpipaan baru sekitar 17%, meliputi 32% di perkotaan dan 6,4% di perdesaan.
Pada umumnya PDAM secara rata rata nasional mempunyai kinerja yang belum memenuhi harapan. Seperti tingkat pelayanan yang rendah (32%), kehilangan air tinggi (41%), konsumsi air yang rendah (14 m3/bulan/RT).
Biaya produksi tergantung dari sumber air baku yang digunakan oleh PDAM. Namun secara umum biaya produksi untuk sernua jenis air baku ternyata lebih tinggi daripada tarif. PDAM yang menggunakan mata air sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 787/m3, sedangkan tarif rata-rata Rp 61 8/m3. PDAM yang menggunakan mata air, sumur dalam dan sungai sekaligus, biaya produksi rata rata Rp 1.188/m3 , dan tarif rata rata Rp 1.112/m3. Sedangkan PDAM yang mengandalkan sungai sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 1.665/m3 , dan tarif rata rata Rp 1.175/m3.
PDAM belum mandiri karena campur tangan pemilik (Pemda) dalam manajemen dan keuangan, cukup membebani PDAM. Sumber daya manusia pengelola PDAM umumnya kurang profesional sehingga menimbulkan inefisiensi dalam manajemen.
Dari segi keuangan, tarif air saat ini tidak bisa menutup biaya operasi PDAM, sehingga PDAM mengalami defisit kas, dan tidak mampu lagi menyelesaikan kewajibannya. PDAM masih mempunyai hutang jangka panjang yang cukup besar dan tidak terdapat penyelesaian yang memuaskan.
Banyak PDAM yang mengabaikan pelayanan dan kepentingan pelanggan, keluhan pelanggan sering tidak ditanggapi dengan baik oleh PDAM, pelanggan merasa tidak berdaya. Hal ini menandakan kedudukan antara konsumen dan produsen tidak setara.
Walaupun dibeberapa PDAM sudah terbentuk forum pelanggan/konsumen, namun perannya belum maksimal, belum dianggap mitra kerja PDAM yang potensial.
Pengawasan/akuntabititas terhadap pengelolaan penyedia air minum masih lemah, belum ada sanksi untuk penyelenggara air minum yang tidak memberikan pelayanan sesuai dengan syarat yang ditentukan. Badan pengawas masih lemah/kurang berfungsi.
Berdasarkan uraian diatas, dari 300 lebih PDAM yang ada di Indonesia, sebagian besar mengalami kendala dalam memberikan pelayanan yang baik akibat berbagai persoalan, baik aspek teknis (air baku, unit pengolah dan jaringan distribusi yang sudah tua, tingkat kebocoran, dan lain lain) maupun aspek non teknis (status kelembagaan PDAM, utang, sulitnya menarik investasi swasta, pengelolaan yang tidak berprinsip kepengusahaan, tarif tidak full cost recovery, dan lain lain).

5.Kualitas Air Belum Memenuhi Syarat Air Minum

Kualitas yang diterima pelanggan dari PDAM masih berkualitas air bersih, belum memenuhi syarat kualitas air minum. Padahal didalam peraturan sudah diisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan air minum adalah air yang bisa dikonsumsi tanpa dimasak terlebih dahulu.
Masyarakat tidak memahami akan hak haknya untuk memperoleh air yang sesuai dengan persyaratan air minum yang ada, sehingga masyarakat sering menerima saja apa yang diterima dari penyedia air minum. Sedangkan PDAM tidak pernah menginformasikan kualitas air minum yang mereka sediakan kepada masyarakat.
Apabila masyarakat bisa memperoleh air dengan kualitas air minum, diperkirakan angka penyakit yang ditularkan atau yang berhubungan dengan air akan bisa berkurang 80%.

6.Keterbatasan Pembiayaan Mengakibatkan Rendahnya Investasi Dalam Penyediaan Air Minum

Sampai tahun 1996 masih terdapat investasi yang cukup berarti dalam penyediaan air minum, yang meliputi hibah pemerintah (pusat dan daerah), dan pinjaman dalam dan luar negeri. Sejak itu kemampuan pemerintah semakin terbatas dalam membiayai investasi sarana penyediaan air minum, termasuk pula pinjaman baik dari dalam maupun luar negeri.
Investasi dalam bidang air minum sangat tergantung dari pinjaman dari dalam negeri dan terutama dari luar negeri. Sementara sumber sumber keuangan untuk investasi melalui pinjaman semakin terbatas, dan akan semakin terhambat oleh hutang PDAM, apabila tidak terdapat penyelesaian yang mernuaskan.
Apabila untuk sektor perumahan terdapat pembiayaan yang murah untuk pembangunannya, bahkan dimasa yang lalu pernah didanai melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia, sektor air minum yang merupakan hajat hidup orang banyak tidak terdapat sumber dana murah yang bisa diakses oleh PDAM.
Sumber pembiayaan sampai saat ini masih mengandalkan pinjaman dan hibah yang semakin terbatas jumlahnya, dan belum berkembang sumber pendanaan alternatif seperti obligasi. Dilain pihak terdapat Pemerintah Kota/Kabupaten yang mempunyai pendapatan yang tinggi dari PAD atau Bagi Hasil (PPn, PPh, dan PBB), namun kurang mempunyai perhatian terhadap pengembangan sektor air minum.

7.Kelembagaan Pengelolaan Air Minum Yang Ada Sudah Tidak Memadai Lagi Dengan Perkembangan Saat Ini

Fungsi PDAM sampai saat ini operator penyedia air minum dan sekaligus sebagai pengatur kebijakan air minum didaerah. Disamping itu terdapat ambiguitas misi PDAM, karena ketidakjelasan antara misi sosial dan misi komersial.
Sementara itu dalam UU No 7 tahun 2004 (SDA) telah mengamanatkan pembentukan badan pengatur yang bertujuan untuk pengembangan sistem penyediaan air minum dan sanitasi, yang sampai saat ini belum terbentuk.
Didalam UU No 7 tahun 2004 (SDA) diamanatkan bahwa penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum diatur datam Peraturan Pemerintah, saat ini sedang dalam penyusunan.
Dari lebih 300 PDAM yang ada, hanya sebagian kecil (3%) yang mempunyai pelanggan diatas 100.000 sebagian besar (49%) PDAM berukuran kecil dengan pelanggan dibawah 10.000 sehingga skala ekonominya kurang atau tidak menguntungkan.

8.Kemitraan Pemerintah dan Swasta Dalam Penyediaan Air Minum Kurang Berkembang

Belum terdapat kesamaan persepsi dan kesepakatan tentang keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum, dikalangan pemerintah Kota/Kabupaten. Akibatnya pengelola penyediaan air minum dan atau pemerintah daerah belum siap dalam bermitra dengan swasta.
Belum terdapat aturan yang cukup mantap dan komprehensip bagi kemitraan pemerintah swasta dalam penyediaan air minum. Proses penyediaan ijin kepada swasta yang berminat jadi penyedia air minum belurn optimal. Sehingga swasta merasa investasi tidak aman dan tidak terjamin pengembaliannya.
Belum terdapat skema pembiayaan yang mendukung keterlibatan swasta datam penyediaan air minum. Umumnya swasta mendapat pembiayaan dari bank dengan bunga komersial, sehingga biaya keuangan yang tinggi mengakibatkan tarif yang tinggi dan membebani petanggan.
Ketentuan pengaturan tarif air minum yang saat ini berlaku, harus mendapat persetujuan oleh DPRD. Ketentuan ini mengakibatkan swasta merasa kepentingannya kurang terlindungi.

9.Kemitraan Pernerintah dan Masyarakat Dalam Penyediaan Air Minum Kurang Berkembang

Peran serta masyarakat datam penyelenggaraan penyediaan air minum masih terbatas.
Kelembagaan masyarakat yang tertibat dan berkecimpung dalam penyediaan air minum tidak berkembang.

10.Pemahaman Masyarakat Tentang Air Minum Tidak Mendukung Pengembangan Air Minum

Sebagian besar masyarakat Indonesia, menyediakan air minum secara mandiri, tetapi tidak tersedia cukup informasi tepat guna hal hal yang terkait dengan persoalan air, terutama tentang konservasi dan pentingnya menggunakan air secara bijak. Masyarakat masih menganggap air sebagai benda sosial.
Masyarakat pada umumnya tidak memahami prinsip pertindungan sumber air minum tingkat rumah tangga, maupun untuk skala lingkungan. Sedangkan sumber air baku (sungai), difungsikan berbagai macam kegiatan sehari hari, termasuk digunakan untuk mandi, cuci dan pembuangan kotoran/sampah.
Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa air hanya urusan pemerintah atau PDAM saja, sehingga tidak tergerak untuk mengatasi masalah air minum secara bersama.
Belum ada kesepahaman dari semua stakeholders termasuk stakeholders didaerah dan masayarakat, tentang tujuan dan target target MDG, khususnya di bidang air minum, serta peran strategis pencapaian target MDG tersebut bagi kemajuan pembangunan air minum di Indonesia.
Keterlibatan perempuan sebagai pengguna utama dan pengelota air minum dalam skala rumah tangga, pada setiap tahapan pengembangan penyediaan air minum masih sangat kurang. Ditingkat pemerintah pusat telah cukup banyak NSPM tentang penyediaan air minum masih yang dihasilkan, namun kurang dan tidak tersebar luas pada tingkat pemerintah daerah maupun masyarakat.

Civil Society’s Critical Response to Phase Approach Certification of 75,640 hectare

Civil Society’s Critical Response to Phase Approach Certification of 75,640 hectare
Industrial Timber Plantation (HTI) of PT. RIAU ANDALAN PULP AND PAPER (PT.
RAPP) – Pelalawan Sector in Pelalawan and Siak districts, Riau Province
CONTROVERSIES OVER PT. RAPP’HTI – PELALAWAN SECTOR’S PERMIT
The 75,640 hectares of PT. RAPP’s HTI - Pelalawan Sector were definitively endorsed
by the Minister of Forestry (MoF) through MoF’s Decree No. 356/Menhut-II/2004 on
Changes to MoF’s Decree No. 130/Kpts-II/1993 dated 27 February 1993 Jo. MoF’s
Decree No. 137/Kpts-II/1997 dated 10 March 1997 on Industrial timber plantation
Permit in Riau Province to PT. Riau Andalan Pulp And Paper, dated 1 October 2004.
With the endorsement, PT RAPP’s HTI area that previously stood at 159,500 hectares
grew to ±235,140 (two hundred thirty-five thousand one hundred and forty) hectares.
PT. RAPP’s HTI - Pelalawan Sector was among the areas proposed by PT. RAPP in 1996,
which had been principally approved by the Minister of Forestry through MoF’s Decree
No. 1547/Menhut-IV/1996 dated 5 November 1996 on Additional Work Site of PT.
RAPP’s HTI.
Based on MoF’s Decree No. 1547/Menhut-IV/1996 dated 5 November 1996, for PT.
RAPP to obtain definitive permit for the proposed area, including the 75,640 hectares
of Pelalawan Sector, it should:
1) Complete HTI feasible study with the Directorate General of Forest Utilisation
(Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan)
2) Complete environmental impact assessment (EIA) with the Directorate General of
Forest Protection and Natural Preservation (Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Pelestarian Alam)
3) Consult the Directorate General of Forest Use and Inventory (Direktorat Jenderal
Inventarisasi dan Tata Guna Hutan) to talk about function change and HTI’s
reserved areas map
Looking at the MoF’s Decree No. 356/Menhut-II/2004 on Changes to to MoF’s Decree
No. 130/Kpts-II/1993 dated 27 February 1993 Jo. MoF’s Decree No. 137/Kpts-II/1997
dated 10 March 1997 on Industrial timber plantation Permit in Riau Province to PT.
Riau Andalan Pulp And Paper, one can see that the rationales behind the issue of the
decree are just:
1) Letter of the Head of Badan Planologi Kehutanan No. S.161/VII-KP/Rhs/2004 dated
16 September 2004;
2) Letter of Riau Governor No. 522.2/EK/3752 dated 24 December 1997 on
recommendations for additional reserved areas for PT RAPP’s HTI;
3) Letter of Riau Governor No. 660.1/BAPEDAL Prop/2981 dated 19 December 2001 on
Approval of PT RAPP’s EIA, Five-Year Work Plan (RKL)/Environmental Management
Plan (RPL);
4) Letter of the Head of Center for Environmental Impact Analysis (Komisi Pusat
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) No. 171/D-VI/AMDAL/1997 dated 19
December 1997 on Approval of PT RAPP’s EIA, Five-Year Work Plan
(RKL)/Environmental Management Plan (RPL).
Therefore, it is obvious that PT. RAPP has violated MoF’s Letter No. 1547/Menhut-
IV/1996 dated 5 November 1996. The letter is in fact based on MoF’s Letter No.
358/Kpts-II/93, dated 13 July 1993.
PT. RAPP’S HTI - PELALAWAN SECTOR LIES WITHIN PROTECTED FOREST
DESIGNATED UNDER 1994 RIAU PROVINCE’S SPATIAL PLAN (BYLAW NO. 10/1994)
Part of PT RAPP’s HTI (38,877 hectares) lies within Protected Forest designated under
the 1994 Riau Province’s Spatial Plan (RTRWP Riau). This is in direct violation of MoF’s
Decree No. 21/Kpts-II/2001 on Criteria and Standard of Plantation Forest Timber
Utilization Permit on Production Forest dated 31 January 2001, and Criteria and
Standards of Plantation Forest Timber Utilization Permit in Production Forest under
Provincial Spatial Plan.
It is clear from the criteria and standards that HTI is only allowed in Production
Forests in accordance with Forest Land Use and RTRWP, whereas PT. RAPP’s HTI -
Pelalawan Sector partly lies in Protected Forest.

PT. RAPP’S HTI - PELALAWAN SECTOR LIES IN 3-METER DEEP PEATLAND
The entire area of PT. RAPP’s HTI – Pelalawan Sector lies in 3-meter deep peatland.
This is in direct violation of Presidential Decree No. 32 Year 1990 on Protected Forest
Management, and Law No. 23 Year 1997 on Environmental Management, CHAPTER IV,
BASIC PRINCIPLES OF PROTECTED FOREST POLICY, First Part of Areas Providing
Protection For Downstream Areas, Article 10, sets a criteria of peatland, that is an
area with a naturally accumulated peat layer with the depth of 3 meters or more lying
in headstreams and swamps.
PT. RAPP’S HTI – PELALAWAN SECTOR LIES WITHIN NATURAL FOREST
Explanation of Forestry Law No. 41 Year 1999, Article 28, stipulates that plantation
timber utilization is prioritized in non-productive forests to preserve natural forests.
Similarly, Governmental Regulation No. 34 Year 2002 on Forest Management and
Forest Management, Utilisation and Use Planning, dated 8 June 2002, Article 30
paragraph (3) stipulates that forest product utilisation in plantation forests is applied
in the bare land, the grassland and or the scrubland of production forests.
In addition, a number of regulations reinforce where HTI should be applied, among
others MoF’s Decree No. 10.1/Kpts-II/2000 On Guideline on Granting Plantation Timber
Forest Permit, dated 6 November 2000, and MoF’s Decree No. 21/Kpts-II/2001
On Criteria and Standard of Plantation Forest Timber Utilization Permit in Production
Forest dated 31 January 2001.
The image below, captured by Landsat in 1996, shows that PT. RAPP’s HTI - Pelalawan
Sector contains pristine natural forests.
With respect to criteria for forest areas that can be applied to be converted into
HTI, PT. RAPP’s HTI - Pelalawan Sector has violated a number of regulations,
namely:
􀂃 Law No. 41 year 1999 on Forestry. Explanation of Forestry Law No. 41 Year 1999,
Article 28, stipulates that plantation timber utilization is prioritized in nonproductive
forests in order to preserve natural forests.
􀂃 Governmental Regulation No. 34 Year 2002 on Forest Management and Forest
Management, Utilisation and Use Planning, dated 8 June 2002, Article 30 paragraph
(3) stipulates that forest product utilisation in plantation forests is applied in the
bare land, the grassland and or the scrubland of production forests.
􀂃 MoF’s Decree No. 10.1/Kpts-II/2000 On Guideline on Granting Plantation Timber
Forest Permit, dated 6 November 2000, Article 3 paragraph stipulates that forest
areas that can be applied to be converted into HTI are bare land within production
forests and or non-titled forest areas to be converted into production forests.
Article 3 paragraph (4) stipulates that the permit can granted on forest areas with
non-forest vegetation cover (scrubland, grassland and bare land) or logged areas
with poor condition containing potentially extracted logs (of any species) of 10-cm
diameter with volume not exceeding 5 m3 per hectare.
􀂃 MoF’s No. 21/Kpts-II/2001 on Criteria and Standard of Plantation Forest Timber
Utilization Permit on Production Forest dated 31 January 2001 stipulates that such
a permit can be granted on logged forest areas or natural forests areas that have
turned into bare land, grassland and or scrubland, or forest vegetation that does
not contain trees (of any species) exceeding 10 cms in diameter with volume less
than 5 m3 per hectare, or containing dominant species less than 200. And Criteria
and Standards of Plantation Forest Timber Utilization Permit in Production Forest
under Provincial Spatial Plan.
PT. RAPP’S HTI - PELALAWAN SECTOR HAD BEEN CONVERTED BEFORE THE ISSUE OF
MOF’S DEFINITIVE PERMIT
Long before the issue of MoF’s Decree No. 356/Menhut-II/2004 on Changes to MoF’s
Decree No. 130/Kpts-II/1993 dated 27 February 1993 Jo. MoF’s Decree No. 137/Kpts-
II/1997 dated 10 March 1997 on Granting HTI Right in Riau Province to PT. Riau
Andalan Pulp And Paper, dated 1 October 2004, PT. RAPP had logged the natural forest
where PT. RAPP’s HTI – Pelalawan Sector lies.
Based on the 2007 Landsat image, the converted area fetched 65,218 hectares or 80%
of the total. 6,458 hectares were first converted in 2000; during 2001-2002 the
company converted 54,218 hectares, with another 3,924 hectares being converted
during 2003-2007.
The question is on what ground did the company apply for Timber Use Permit (IPK) or
Annual Work Plan (RKT) on its concession (Pelalawan Sector)? The HTI even had not
obtained a definitive permit until 1 October 2004.
Minister of Forestry and Estate Crops’ Decree No. 538/Kpts-II/1999, dated 12 July 1999
on Timber Use Permit, Article 1 stipulates that “timber use permit (IPK) is granted for
logging operations on designated forest areas or areas for other purposes for
plantation forest development or non-forestry purposes.”
MoF’s Decree No. 151/Kpts-II/2003 on Work Plan, Five-Year Plan, Annual Work Plan
and Work Chart of Timber Utilisation on Plantation Forests, Article 17 stipulates that
“IUPHHK (plantation forest permit) holders are obliged to prepare Five-Year Work Plan
(RKTUPHHK) for the first year as late as three months after RKLUPHHK is endorsed.”
Article 9 stipulates that Five-Year Work Plan (RKTUPHHK) must be prepared by IUPHHK
holders based on the endorsed RKUPHHK.
In the light of the fact that PT. RAPP had yet been granted the definitive permit until
1 October 2004, logging the area should have been prohibited. Law No. 41 year 1999
on Forestry Article 50 paragraph Article 3 letter (e) stipulates that no one is allowed to
cut trees or harvest or collect any forest products within the forest area without
holding any rights or license issued by authorised officials, and (f) junto Article 78
paragraph (4) that prohibits anyone to receive, buy or sell, receive as an exchange,
receive as an entrusted goods, keep or possess any forest products which were
allegedly harvested from a forest area through an illegal way.
So, what do these have to do with the Phase Approach Certification of 75,640
hectare Industrial Timber Plantation (HTI) of PT. RIAU ANDALAN PULP AND PAPER
(PT. RAPP) – Pelalawan Sector?
Below is how the understanding of Sustainable Forest Management Certification
indicators is compared with the facts.
1. Land certainty (to be used as plantation forest)
According to LEI’s Technical Document No. 04 on the values (intensity scale) of
SFM Certification, what is meant by land certainty is the conformity between the
status of the forest management unit and Forest Land Use (i.e. TGH, RTRWP)
The fact is that PT. RAPP’s HTI - Pelalawan Sector lies within Protected Forest
designated by the 1994 Riau RTRWP, whereas according to MoF’s Decree No. 21/Kpts-
II/2001 on On Criteria and Standard of Plantation Forest Timber Utilization Permit in
Production Forest dated 31 January 2001, exploitation of production forest should
comply with forest land use and or RTRWP
According to LEI’s Technical Document No. 04 on the values (intensity scale) of
SFM Certification, the land certainty gives a judicial guarantee and reduces future
conflicts on land use. Therefore, any form of changes to forest function, in this case
because of changes to land use, must be re-gazetted. Pal batas (demarcation) is one
of the signs telling that the land within bears certain ownership right and function.
The fact is that PT. RAPP’s HTI – Pelalawan Sector was definitively designated as HTI
on 1 October 2004 through MoF’s Decree No. 356/Menhut-II/2004 on Changes to MoF’s
Decree No. 130/Kpts-II/1993 dated 27 February 1993 Jo. MoF’s Decree No. 137/Kpts-
II/1997 dated 10 March 1997 on Granting HTI Right in Riau Province to PT. Riau
Andalan Pulp And Paper, dated 1 October 2004.
The fact is that PT. RAPP had converted the said land before the definitive permit
was granted.
The fact is that PT. RAPP’s HTI - Pelalawan Sector obtained the definitive permit in
violation of or non-compliance with MoF’s guidelines through MoF’s Decree No.
1547/Menhut-IV/1996 dated 5 November 1996. The decree was in fact based on MoF’s
Decree No. 358/Kpts-II/93, dated 13 July 1993
2. Ratio of the size of the designated protected forest to the ideal size
According to LEI’s Technical Document No. 04 on the values (intensity scale) of
SFM Certification, protected forest that has been designated and or acknowledged by
related parties and has met the biophysical considerations will ensure the preservation
of the land quality and continuity of water system function within the management
unit.
The fact is that the entire area of PT. RAPP’s HTI - Pelalawan Sector lies on >3
meter deep peatland, which is in direct violation of Presidential Decree No. 32 year
1990 on Protected Forest Management.
The fact is that part of PT. RAPP’s HTI - Pelalawan Sector (38,504 hectares) lies
within Protected Forest designated by the 1994 Riau RTRWP.
3. Effective management of production area is planned in accordance with the land
suitability and capacity, and the continuity of the water system functions
According to LEI’s Technical Document No. 04 on the values (intensity scale) of
SFM Certification, effective production area is an area within plantation forest that
can effectively be planted with species selected in accordance with ecological
suitability and company’s goals. To ensure long term productivity, effective
production areas should be managed in accordance with the land suitability and
capacity, and the continuity of water system functions.
The fact is that, according to 2000 Landsat image, PT. RAPP’s HTI – Pelalawan
Sector contains pristine forest.
The fact is that in light of the fact that PT. RAPP’s HTI – Pelalawan Sector was
designated as HTI on 1 October 2004 through MoF’s Decree No. 356/Menhut-II/2004 on
Changes to MoF’s Decree No. 130/Kpts-II/1993 dated 27 February 1993 Jo. MoF’s
Decree No. 137/Kpts-II/1997 dated 10 March 1997 on Granting HTI Right in Riau
Province to PT. Riau Andalan Pulp And Paper; it would mean that up to 1 October
2004 PT. RAPP’s HTI - Pelalawan Sector had by no means prepared Annual Work
Plan (RKT) and Five-Year Work Plan (RKL). Whereas, MoF’s Decree No. 151/Kpts-
II/2003 on Work Plan, Five-Year Plan, Annual Work Plan and Work Chart of Timber
Utilisation on Plantation Forests, Article 17 stipulates that “IUPHHK (plantation forest
permit) holders are obliged to prepare Five-Year Work Plan (RKTUPHHK) for the first
year as late as three months after RKLUPHHK is endorsed.” Article 9 stipulates that
Five-Year Work Plan (RKTUPHHK) must be prepared by IUPHHK holders based on the
endorsed RKUPHHK.
For more detailed information, please contact:
Susanto Kurniawan
JIKALAHARI Coordinator
E : santoelang@gmail.com
Rivani Noor
CAPPA Facilitator
E : rivani@cappa.or.id

Hendri Marihot Siregar
E : hendrimarihotsiregar@gmail.com
HP: 0813-78489721